Kata
Pengantar
Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah AQIDAH.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Pengaruh Takdir Terhadap Kehidupan Muslim. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Universitas Muslim Indonesia. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing saya meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah saya di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.
Daftar
Isi
Halaman Judul … … … … … … … … … 1
Kata Pengantar … … … … … … … … … 2
Daftar Isi … … … … … … … … … 3
Bab I Pendahuluan … … … … … … … … … 4
1.1
Latar Belakang … … … … … … … … 4
1.2
Rumusan Masalah … … … … … … … 5
1.3
Tujuan … … … … … … … … … 5
Bab II Pembahasan … … … … … … … … … 6
2.1
Pengertian Takdir … … … … … … … … 6
2.2
Takdir dalam Agama Islam … … … … … … 6
2.3
Implikasi Iman kepada Takdir … … … … … … 7
2.4
Macam-macam Takdir … … … … … … … 8
2.5
Pengaruh Takdir atas Manusia … … … … … … 9
2.6
Hakikat Takdir … … … … … … … … 10
2.7
Hikmah Iman kepada Takdir … … … … … … 11
2.8
Pengaruh Iman kepada Takdir Allah SWT … … … … 11
2.9
Prinsip Keimanan kepada Takdir … … … … … … 12
Bab III Penutup … … … … … … … … … 15
3.1
Kesimpulan … … … … … … … … 15
3.2
Saran … … … … … … … … 15
3.3
Penutupan … … … … … … … … 15
Daftar Pustaka … … … … … … … … … 16
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Konsep Takdir, selalu menjadi
perdebatan dan pertanyaan banyak orang. Akhir-akhir
ini cukup banyak pertanyaan ataupun diskusi-diskusi tentang takdir. Bagi umat
islam, takdir merupakan bagian dari pada aqidah, karena merupakan bagian dari
pada iman terhadap Qadha dan Qadar, dimana kata takdir ini merupakan kata yang
berasal dari Qadar. Karenanya, pemahaman tentang takdir ini sangat penting bagi
seorang muslim. Sebab pemahaman tentang takdir ini akan menentukan arah dan
sikap seorang muslim terhadap berbagai hal yang terjadi selama hidupnya.
Hidup ini memang penuh dengan warna.
Dan ingatlah bahwa hakikat warna-warni kehidupan yang sedang kita jalani
di dunia ini telah Allah tuliskan (tetapkan) dalam kitab “Lauhul Mahfudz” yang
terjaga rahasianya dan tidak satupun makhluk Allah yang mengetahui isinya. Semua
kejadian yang telah terjadi adalah kehendak dan kuasa Allah SWT. Begitu pula
dengan bencana-bencana yang akhir-akhir ini sering menimpa bangsa kita. Gempa,
tsunami, tanah longsor, banjir, angin ribut dan bencana-bancana lain yang telah
melanda bangsa kita adalah atas kehendak, hak, dan kuasa Allah SWT.Dengan bekal
keyakinan terhadap takdir yang telah ditentukan oleh Allah SWT, seorang mukmin
tidak pernah mengenal kata frustrasi dalam kehidupannya, dan tidak berbangga
diri dengan apa-apa yang telah diberikan Allah SWT.
Kematian, kelahiran, rizki, nasib,
jodoh, bahagia, dan celaka telah ditetapkan sesuai ketentuan-ketentuan Ilahiah
yang tidak pernah diketahui oleh manusia. Dengan tidak adanya pengetahuan
tentang ketetapan dan ketentuan Allah ini, maka kita harus berlomba-lomba
menjadi hamba yang saleh-muslih, dan berusaha keras untuk menggapai cita-cita
tertinggi yang diinginkan setiap muslim yaitu melihat Rabbul’alamin dan menjadi
penghuni Surga.
Keimanan
seorang mukmin yang benar harus mencakup enam rukun. Yang terakhir adalah
beriman terhadap takdir Allah, baik takdir yang baik maupun takdir yang buruk.
Salah memahami keimanan terhadap takdir dapat berakibat fatal, menyebabkan
batalnya keimanan seseorang. Terdapat beberapa permasalahan yang harus dipahami
oleh setiap muslim terkait masalah takdir ini.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian dari Takdir ?
2.
Takdir
dibagi menjadi berapa macam ?
3.
Apa
saja hakekat dan hikmah dari Takdir ?
4.
Apa
prinsip-prinsip keimanan kepada Takdir ?
5.
Bagaimana
pengaruh Takdir dalam kehidupan umat muslim ?
1.3 Tujuan Makalah
1.
Untuk
memahami Takdir.
2.
Untuk
memahami dan mengetahui macam-macam Takdir.
3.
Untuk
memahami dan mengetahui hakekat dan hikmah dari Takdir.
4.
Untuk
memahami dan mengetahui prinsip keimanan kepada Takdir.
5.
Untuk
memahami dan mengetahui pengaruh Takdir terhadap kehidupan muslim.
Bab
II
Pembahasan
2.1 Pengertian Takdir
Kata Takdir berasal dari bahasa Arab, yakni Takdir (تقدير) yang
berakar kata dari kata qaddara (قدر، يقدر،
تقديرا) yang berarti ukuran
terhadap sesuatu atau memberi kadar.
Takdir adalah ketentuan suatu peristiwa yang terjadi di alam
raya ini yang meliputi semua sisi kejadiannya baik itu mengenai kadar atau
ukurannya, tempatnya maupun waktunya. Dengan demikian segala sesuatu yang
terjadi tentu ada takdirnya, termasuk manusia.
Pengertian Takdir
menurut istilah, adalah ukuran yang sudah ditentukan Tuhan sejak zaman azali
baik atau buruknya sesuatu, tetapi boleh saja berubah jika ada usaha untuk
merubahnya. Sehingga, jika Allah telah mentakdirkan demikian, maka itu berarti
bahwa Allah telah memberi kadar/ ukuran/ batas tertentu dalam diri, sifat atau
kemampuan maksimal makhluknya. Kemampuan pada diri manusia inilah yang boleh
berubah, dan terkadang memang mengalami perubahan disebabkan oleh usaha manusia
itu sendiri.
Pengertian Takdir menurut istilah tersebut, mencerminkan
adanya kemungkinan perubahan takdir dari Allah swt. Manusia mempunyai kemampuan
terbatas sesuai dengan ukuran yang diberikan oleh Allah kepadanya. Makhluk ini
misalnya; ditakdirkan untuk tidak dapat menembus angkasa luar, tetapi dengan
akalnya ia mampu merubah taqdir itu. Yakni dengan menciptakan suatu alat
(wahana) untuk sampai ke sana.
2.2 Takdir dalam agama Islam
Umat Islam memahami takdir sebagai bagian dari tanda kekuasaan Tuhan yang
harus diimani sebagaimana dikenal dalam Rukun Iman. Penjelasan tentang takdir
hanya dapat dipelajari dari informasi Tuhan, yaitu informasi Allah melalui Al
Quran dan Al Hadits. Secara keilmuan umat Islam dengan sederhana telah
mengartikan takdir sebagai segala sesuatu yang sudah terjadi.
Untuk memahami konsep takdir, jadi umat Islam tidak dapat melepaskan diri
dari dua dimensi pemahaman takdir. Kedua dimensi dimaksud ialah dimensi
ketuhanan dan dimensi kemanusiaan.
Dimensi ketuhanan
Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Quran yang
menginformasikan bahwa Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk
menciptakan Takdir.
- Dialah Yang Awal dan Yang Akhir ,Yang Zhahir dan Yang Bathin (Al Hadid / QS. 57:3). Allah tidak terikat ruang dan waktu, bagi-Nya tidak memerlukan apakah itu masa lalu, kini atau akan datang).
- Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sungguh telah menetapkannya (takdirnya) (Al-Furqaan / QS. 25:2)
- Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah (Al-Hajj / QS. 22:70)
- Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya (Al Maa'idah / QS. 5:17)
- Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya (Al-An'am / QS 6:149)
- Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat (As-Safat / 37:96)
- Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan (Luqman / QS. 31:22). Allah yang menentukan segala akibat.
Dimensi kemanusiaan
Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Quran yang
meginformasikan bahwa Allah memperintahkan manusia untuk berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk mencapai cita-cita dan tujuan hidup yang dipilihnya.
- Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia (Ar Ra'd / QS. 13:11)
- (Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (Al Mulk / QS. 67:2)
- Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Nasrani, Shabiin (orang-orang yang mengikuti syariat Nabi zaman dahulu, atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa), siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan beramal saleh, maka mereka akan menerima ganjaran mereka di sisi Tuhan mereka, tidak ada rasa takut atas mereka, dan tidak juga mereka akan bersedih (Al-Baqarah / QS. 2:62). Iman kepada Allah dan hari kemudian dalam arti juga beriman kepada Rasul, kitab suci, malaikat, dan takdir.
- Barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir (Al Kahfi / QS. 18:29).
2.3 Implikasi Iman kepada Takdir
Kesadaran manusia untuk beragama merupakan kesadaran akan kelemahan dirinya. Terkait dengan fenomena takdir, maka wujud kelemahan manusia itu ialah ketidaktahuannya akan takdirnya. Manusia tidak tahu apa yang sebenarnya akan terjadi. Kemampuan berfikirnya memang dapat membawa dirinya kepada perhitungan, proyeksi dan perencanaan yang canggih. Namun setelah diusahakan realisasinya tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Manuisa hanya tahu takdirnya setelah terjadi.Oleh sebab itu sekiranya manusia menginginkan perubahan kondisi dalam menjalani hidup di dunia ini, diperintah oleh Allah untuk berusaha dan berdoa untuk merubahnya. Usaha perubahan yang dilakukan oleh manusia itu, kalau berhasil seperti yang diinginkannya maka Allah melarangnya untuk menepuk dada sebagai hasil karyanya sendiri. Bahkan sekiranya usahanya itu dinialianya gagal dan bahkan manusia itu sedih bermuram durja menganggap dirinya sumber kegagalan, maka Allah juga menganggap hal itu sebagai kesombongan yang dilarang juga (Al Hadiid QS. 57:23).
Kesimpulannya, karena manusia itu lemah (antara lain tidak tahu akan takdirnya) maka diwajibkan untuk berusaha secara bersungguh-sungguh untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu beribadah kepada Allah. Dalam menjalani hidupnya, manusia diberikan pegangan hidup berupa wahyu Allah yaitu Al Quran dan Al Hadits untuk ditaati.
2.4
Macam-macam Takdir
Takdir terbagi menjadi dua
bagian,yakni :
a. Takdir Mu’allaq
Takdir
mu’allaq adalah takdir Allah SWT atas makhluknya yang memungkinkan dapat
berubah karena usaha dan ikhtiar manusia.
Allah berfirman :
“Sesungguhnya Allah tidak akan
merubah nasib suatu kaum sehingga mereka
itu mengubah nasibnya sendiri.” (Ar-Radu : 11).
Contoh :
1) Miskin bisa jadi kaya,
lantaran bekerja keras
Allah berfirman :
“Dan katakanlah(hai Muhammad) :
Bekerjalah kamu semua, maka Allah dan Rasulnya serta orang mukmin akan melihat
hasil pekerjaanmu.’ (At- Taubah ayat 105).
2) Bodoh Menjadi Pintar ,
lantaran mau belajar giat
Allah berfirman :
“Belajarlah kamu sekalian,
ajarkanlah bertawakal kamu kepada guru, serta lemah lembutlah kamu kepada
murid.” (H.R. Tabrani).
3) Orang sakit bisa menjadi
sembuh, lantaran berobat dan berdoa
Allah berfirman :
“Berdoalah kamu kepada-Ku niscaya
Aku akan mengabulkan permohonanmu.”
(Al-Mu’minun ayat 60).
b. Taqdir Mubram
Takdir mubram ialah takdir yang
pasti terjadi dan tidak dapat dielakkan kejadiannya. Contohnnya nasib
manusia,lahir, kematian, jodoh dan rizkinya,terjadinya kiamat.dan sebagainya.
Qada’ & qadar Allah SWT yang berhubungan dengan nasib manusia adalah
rahasia Allah SWT, hanya Allah SWT yang mengetahuinya. Manusia diperintahkan
mengetahui qada’dan qadarnya melalui usaha dan ikhtiar. Kapan manusia lahir,
bagaimana statusnya sosialnya, bagaimana rizkinya ,siapa anak istrinya,dan
kapanya meninggalnya,adalah rahasia Allah SWT. Jalan hidup manusia seperti itu
sudah ditetapkan sejak zaman azali yaitu masa sebelum terjadinya sesuatu atau
massa yang tidak bermulaan. Tidak seorang pun yang mengetahui hal tersebut.
2.5 Pengaruh Takdir Atas Manusia
Sepanjang sejarahnya, manusia akan selalu bertanya, apakah segala
sesuau ang telah terjadi padanya baik itu berupa keuntungan atau musibah adalah
takdir Allah SWT ? ataukah
manusia itu ikut juga memberi andil dalam menggariskan nasibnya atau menentukan masa depannya? Banyak para filosof atau teolog serta ulama kita yang berbicara tentang takdir ini, terbagai dalam dua aliran pemikiran besar yaitu :
manusia itu ikut juga memberi andil dalam menggariskan nasibnya atau menentukan masa depannya? Banyak para filosof atau teolog serta ulama kita yang berbicara tentang takdir ini, terbagai dalam dua aliran pemikiran besar yaitu :
Qadariyyah
istilah ini untuk mereka yang mengatakan bahwa kebebasan kehendak manusia, dimana segala sesuatu adalah upaya dari manusia itu sendiri dengan kata lain bahwa nasibnya ditentukan oleh dirinya sendiri.
istilah ini untuk mereka yang mengatakan bahwa kebebasan kehendak manusia, dimana segala sesuatu adalah upaya dari manusia itu sendiri dengan kata lain bahwa nasibnya ditentukan oleh dirinya sendiri.
Jabbariyyah
Banyak dianut oleh kaum Asyariyyah yang mengatakan bahwa manusia tidak memiliki ikhtiar atau kebebasan memilih, dengan kata lain, semua telah diatur oleh sang pencipta, dan inilah yang menyebabkan berdampak manusia jadi jumud dan statis.
Banyak dianut oleh kaum Asyariyyah yang mengatakan bahwa manusia tidak memiliki ikhtiar atau kebebasan memilih, dengan kata lain, semua telah diatur oleh sang pencipta, dan inilah yang menyebabkan berdampak manusia jadi jumud dan statis.
Pada
hakikatnya kedua pemikiran ini pasti tidak akan terlepas dari
kemusykilan-kemusykilan yang tidak dapat dipertahankan, seandainya kedua
kelompok ini menyadari bahwa kedua pendapat mereka masing-masing mencakup
sebagian saja dari kebenaran, niscaya akan hilanglah pertengkaran antara
keduanya dan akan segera kita tahu bahwa percaya terhadap qadha dan qadar serta
ketauhidan perbuatan sama sekali tidak identik dengan kebebasan sepenuhnya dari
manusia. Sebagaimana juga kepercayaan kepada ikhtiar dan kebebasan manusia
tidak berarti pengingkaran terhadap Qadha dan Qadar.
Manusia
dalam system alam semesta sejak dari semela telah memiliki sejenis kebebasan
ikhtiar serta kemampuan tertentu dalam aktifitas, yang tidak dimiliki oleh
makhluk lain, dan kita tahu bahwa keberadaan semua ini bersumber pada system
Illahi yang riil dan alam ini ciptaan-Nya maka pengetahuan awal atau azali yang
berkaitan dengan perbuatan-perbuatan manusia berarti bahwa Ia mengetahui sejak
semula tentang siapa-siap yang akan taat dengan ikhtiar dan kebebasan nya serta
siapa-siapa yang bermaksiat dengan ikhtiar dan kebebasan pula.Jadi yang
merupakan keharusan dan konsekwensi ilmu tersebut ialah adanya ketaatan dari
orang yang taat dengan kemauannya sendiri maupun maksiat dari sipelaku maksiat
dengan kemampuannya sendiri pula. Ilmu Allah adalah aktif dan positif, bukannya
reaktif dan pasif, akan tetapi hal ini tidak harus berarti bahwa manusia
bersifat terpaksa dan tidak memiliki ikhtiar, dan bahwa disaat melakukan
kemaksiatan , ia berada dibawah paksaan untuk bermaksiat dari sesuatu yang
lebih tinggi daripadanya. yang benar bahwa keberadaannya yang telah dicipta
dalam tatanan alam semesta sebagai sesuatu yang memiliki kebebasan, ia pulalah
yang dalam ilmu Illahi bersifat bebas dan berikhtiar
Apakah
perbuatan maksiat itu bersifat sukarela dan sesuai dengan kecenderungan kemauan
serta pilihan pribadi tanpa paksaan, ataukah yan gbersifat paksaan oleh sesuatu
kekuatan yang berada diluar kekuatan manusia? Sesungguhnya yang diketahui Allah
sejak Azali, bukannya adanya perbuatan maksiat yang dipaksakan, melainkan
perbuatan maksiat secara sukarela (ikhtiar).Oleh sebab itu pengetahuan Allah
seperti itulah, maka seandainya orang tersebut dipaksa, dijadikan majbur (tidak
memiliki ikhtiar), untuk tidak berbuat maksiat, atau sebaliknya dipaksa untuk
melakukan maksiat, hal ini tentunya mengalihkan atau mengubah pengetahuan Allah
menjadi ketidaktahuan. Dan kesimpulan yang bisa kita tarik berdasarkan hal
tersebut adalah, bahwa pengetahuan Allah yang Azali tentang perbuatan-perbuatan
segala sesuatu yang ada dialam ini, dan yang memiliki kemauan dan ikhtiar sama
sekali bukanlah Jabr, sebab konsekwensi ilmu Illahi ialah tetapnya sesuatu yang
mukhtar (yang memiliki kebebasan memilih) menjadi mukhtar secara tetap dan
pasti. Oleh sebab itu dapatlah dibenarkan ucapan si orang pintar bahwa
menjadikan dosa sebagai sesuatu yang disebabkan oleh pengetahuan Ilahi, menurut
anggapan yang berakal adalah sama dengan ketidak tahuan. Alam semesta ini
dengan segala sistemnya adalah ilmu Allah SWT, Sang Pencipta Agung dan juga
merupakan objek yang diketahui-Nya. Hal ini disebabkan kenyataan bahwa Zat-Nya
meliputi zat-zat segala sesuatu,sejak azali sampai abadi. Atas dasar ini alam
beserta segala karakteristik dan tatanannya termasuk dalam peringkat ilmu
pengetahuan Allah SWT.
2.6 Hakikat
Takdir
Agar
takdir dapt dipahami dengan benar dan proporsional, maka hendaknya kita
memahami hakikat Takdir itu sendiri.
a. Takdir Allah hendaknya didasari dengan pandangan
“Husnu Azh-Zhon” (berbaik sangka) kepada Allah swt. Maksudnya, bahwa iman
kepada takdir Allah didasari dengan keyakinan terhadap ke-Mahabijaksanaan Allah
swt dan ke-MahatahuanNya atas segala yang menimpa hambaNya. Seringkali suatu
kejadian nampaknya buruk dalam pandangan manusia, tetapi dalam pandangan Allah
swt suatu kebaikan, sebab segala perbuatan Allah adalah kebaikan mutlak (
Lihat: Abdur-Rahmnan Habannakah, Pokok-pokok Akidah Islam, 674, th. 1998,
GIP ).
b. Keimanan kepada Takdir Allah bukan berarti meniadakan
tanggung jawab mukmin atas perbuatannya dan pilihannya dalam kehidupan.
Sebagaimana firman Allah swt (Q.S. al-Anbiya: 23) yang artinya: Allah
tidak ditanya atas perbuatanNya, tetapi manusia akan ditanya dan bertanggung
jawab atas perbuatannya. Segala sesuatu yang terjadi sebagai ketentuan qadho
dan qodar mesti diterima dengan ridha dan pasrah, dan diyakininya bahwa hal itu
adalah ke-Mahabijaksanaan Allah swt. Sedangkan dalam ruang lingkup tanggung
jawab manusia, ia berusaha menguasai sebab musabab yang merupakan sunnatullah
pada alam ciptaanNya (Lihat : Abdur-Rahman H, hal: 678 ).
c. Iman kepada Takdir Allah merupakan sikap Tawakkal dan
I’timad ( bersandar ) kepada allah swt. Tawakkal berarti berupaya
melakukan sesuatu sesuai ketentuan yang berlaku pada sunnatullah, dengan
menggunakan bekal-bekal dan potensi-potensi yang diberikan Allah untuk manusia,
kemudian berdo’a, memohon kemudahan kepadaNya. Hasil usaha dan do’a tersebut
diserahkan kepada Allah yang memiliki masyi’ah ilahiah.
2.7 Hikmah Iman Kepada Takdir
1. Ibtila ( Ujian). Diantara hikmah Iman kepada
Takdir Allah adalah ujian kepada manusia, bahwa kejadian-kejadian yang menimpa
manusia, baik atau buruk, semuanya merupakan ujian Allah. FirmanNya :
( Kami akan menguji
kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan) Q.S. Al-Anbiya: 35).
2. Sarana Pendidikan dan Pengajaran. Allah swt dalam
mendidik dan mengajari hamba-hambaNya kadang-kadang menimpakan musibah dan
kadang-kadang memberikan kesenangan dan kenikmatan hidup. Suatu saat Allah
memberikan hadiah penghargaan, pada saat lain memberikan teguran-teguran berupa
sangsi-sangsi, baik bersifat fisik maupun moril.
3. Pembalasan yang disegerakan. Allah swt kadangkala
menyegerakan balasan orang yang melakukan kemaksiatan, sebagaimana menyegerakan
ganjaran bagi yang berbuat baik. Semua itu dilakukan dalam rangka dapat
dijadikan pelajaran bagi orang lain yang menyaksikan balasan atau ganjaran
tersebut.
2.8 Pengaruh Iman kepada Takdir Allah SWT
Iman
kepada Takdir Allah yang benar dan tepat tidak melahirkan sifat dan sikap yang
kontra produktif apalagi anarkis dan destruktif. Sebaliknya, bahwa keimanan
tersebut memberikan pencerahan hidup dan kehidupan.
Diantara buah
dan pengaruh positif keimanan seseorang kepada Takdir Allah sebagai berikut :
1.
Ketenangan Jiwa
. Setiap mukmin akan senantiasa merasa tenang dan tentram, karena
keimanan kepada ketentuan Allah swt. Sebab ia berkeyakinan, bahwa apapun yang
terjadi setelah upaya-upaya dilakukan, tidak terlepas dari kebijaksanaanNya. Ia
pun berkeyakinan bahwa Allah tidak mungkin menyia-nyiakan hambaNya yang patuh
kepada ketentuan-ketentuanNya.
2.
Al-Jiddiyah (
Serius dan Semangat Bekerja ). Setiap mukmin merasa bertanggung jawab atas
segala perbuatannya. Pilihannya berdasarkan karunia Allah; Dia memberikan akal
pikiran, potensi baik dan kemampuan dalam rangka bekerja keras dan berupaya
meraih ketentraman dan kenyaman hidup. Persepsi ini memberikan pemahaman lain,
bahwa kesalahan atau kekalahan tidak boleh semata-mata diarahkan kepada orang
lain, atau mengkambinghitamkan Takdir. Sebagaimana penjelasan Allah swt dalam
peristiwa Perang Uhud ( Lihat Q.S. Ali Imron: 165 ). Ayat ini memberikan
landasan analisis kepada manusia muslim dalam seluruh rangkaian struktur
problematika yang dihadapinya. Kefaktoran manusia sebagai sumber musibah adalah
sunnatullah, seperti penegasan Allah dalam ayat lain Q.S. 3: 137 ( Sesungguhnya
telah berlalu sebelummu sunnah-sunnah Allah; karena itu berjalanlah kamu di
muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (
Rasul-Rasul )
3.
Sikap Tawakkal
dan Berserah Diri Kepada Allah. Seseorang yang beriman kepada Takdir
Allah berkeyakinan, bahwa kehendaknya dalam berupaya tidak bisa dipisahkan dari
kehendak Allah, artinya Allah swt tidak akan menyia-nyiakan hasil usahanya
dalam bekerja. Karenanya, ia senantiasa berharap rahmat dari Allah dengan
lantunan doa’-do’a menyertai usaha-usaha yang dilakukannya.
2.9 Prinsip-prinsip Keimanan kepada
Takdir
Prinsip
Pertama:
Kita wajib
mengimani bahwa Allah mengetahui segala sesuatu secara global maupun terperinci
baik yang terkait dengan perbuatan-Nya maupun perbuatan para hamba-Nya. Kita
juga wajib mengimani bahwa Allah telah menulis hal itu di Lauh Mahfuzh.
Allah berfirman,
artinya, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui
apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat
dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah
bagi Allah.” (QS. al-Hajj: 70).
Abdullah bin Umar berkata, “Aku pernah
mendengar Rasulullah bersabda, ‘Allah telah menulis (menentukan) takdir
seluruh makhluk sebelum menciptakan langit dan bumi 50 ribu tahun’” (HR.
Muslim).
Prinsip Kedua:
Prinsip Kedua:
Kita wajib mengimani bahwa seluruh yang ada
tidak akan ada, kecuali dengan kehendak Allah, baik yang berkaitan dengan
perbuatan-Nya maupun perbuatan makhluk-Nya.
Allah berfirman, artinya, “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan Dia pilih…” (Qs. al-Qashash: 68).
Allah berfirman, artinya, “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan Dia pilih…” (Qs. al-Qashash: 68).
Allah juga
berfirman, artinya, “Kalaulah Allah menghendaki, maka Dia memberikan
kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu..” (Qs.
an-Nisa: 90).
Prinsip Ketiga:
Prinsip Ketiga:
Kita
wajib mengimani bahwa seluruh yang ada, zatnya, sifatnya, dan geraknya
diciptakan oleh Allah.
Allah berfirman, artinya, “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu” (Qs. az-Zumar: 62).
Allah berfirman, artinya, “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu” (Qs. az-Zumar: 62).
Allah juga
berfirman, artinya, “Dan Dia telah menciptakan segala suatu dan Dia
menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (QS. al-Furqaan: 2).
Allah berfirman
tentang nabi Ibrahim yang berkata kepada kaumnya, artinya, “Padahal Allah
lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu” (QS. ash-Shaffat:
96).
Prinsip
Keempat:
Iman kepada
takdir tidak menafikkan kehendak dan kemampuan manusia.
Allah berfirman
tentang kehendak manusia, artinya, “Maka barangsiapa menghendaki, niscaya ia
menempuh jalan kembali kepada Rabnya” (QS. an-Naba: 39).
Allah berfirman
tentang kemampuan manusia, artinya, “Maka bertakwalah kamu kepada Allah
menurut kesanggupanmu, dengarlah dan taat…” (QS. at-Taghabun: 16)
Allah juga
berfirman, artinya, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala dari kebajikan yang dikerjakannya serta
mendapatkan siksa dari (kejahatan) yang dikerjakan…” (QS. al-Baqarah: 286).
Bukankah manusia
mengetahui bahwa dirinya mempunyai kehendak dan kemampuan untuk mengerjakan
atau meninggalkan sesuatu? Bukankah pula ia dapat membedakan antara kemauannya
(seperti berjalan) dan yang bukan kehendaknya (seperti gemetar)? Namun perlu
diketahui dan diyakini bahwa kehendak serta kemampuan seseorang itu akan
terjadi dengan masyiah (kehendak) serta qudrah (kemampuan) Allah.
Allah berfirman,
artinya, “(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang
lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. at-Takwir: 28-29).
Dengan demikian,
adalah sesat pendapat orang yang mengatakan bahwa manusia itu terpaksa atas
perbuatannya, tidak mempunyai iradah (kemauan) dan qudrah (
kemampuan). Sesat pula pendapat orang yang mengatakan bahwa manusia dalam
perbuatannya ditentukan oleh kemauan serta kemampuannya, kehendak serta takdir
Allah tidak ada pengaruhnya sama sekali.
Prinsip Kelima:
Prinsip Kelima:
Iman kepada
takdir bukan alasan untuk meninggalkan kewajiban atau untuk mengerjakan
maksiat.
Apakah iman kepada takdir berarti memberi alasan untuk meninggalkan kewajiban atau untuk mengerjakan maksiat? Jawabannya adalah “tidak“.
Apakah iman kepada takdir berarti memberi alasan untuk meninggalkan kewajiban atau untuk mengerjakan maksiat? Jawabannya adalah “tidak“.
Perhatikan
firman Allah, artinya, “Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan
mengatakan: ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak
mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun.’
Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para Rasul) sampai
mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: ‘Adakah kamu mempunyai sesuatu
pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada kami?’ kamu tidak
mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta.”
(QS. al-An’am: 148).
Kalaulah alasan
mereka dengan takdir itu dibenarkan, tentu Allah tidak akan menjatuhkan
siksa-Nya.
Perhatikan juga
firman Allah, artinya, “(mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita
gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia
membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. an-Nisa’: 165).
Kalaulah
seandainya takdir dapat dibuat alasan bagi orang-orang yang salah, maka
tentulah Allah tidak menafikannya dengan mengutus para rasul, karena menyalahi
sesuatu setelah terutusnya para rasul jatuh pada takdir Allah juga.
Prinsip
Keenam:
Keimanan yang
benar terhadap takdir Allah memiliki buah yang baik bagi pelakunya. Diantara
buahnya adalah:
1. Bersandar kepada Allah ketika mengerjakan sebab-sebab, tidak bersandar kepada sebab itu sendiri, karena segala sesuatu ditentukan dengan takdir Allah.
2. Kita tidak lagi mengagumi diri ketika tercapai apa yang dicita-citakan. Karena tercapainya cita-cita merupakan nikmat dari Allah yang dikarenakan takdir-Nya yaitu sebab-sebab keberhasilan. Dan mengagumi diri akan dapat melupakan syukur nikmat ini.
3. Akan timbul dalam diri –insyaallah– ketenangan serta kepuasan jiwa terhadap seluruh takdir yang berlaku, tidak gelisah karena hilangnya sesuatu yang disukai atau datangnya sesuatu yang tidak disukai. Karena dia tahu bahwa hal itu ditentukan dengan takdir Allah yang memiliki langit dan bumi dan bahwa hal itu akan terjadi dengan pasti.
Bab III
Penutup
3.1 Kesimpulan :
Masalah Takdir adalah masalah klasik yang sering menjadi perdebatan dalam realita kehidupan manusia, Baik oleh para agamawan maupun para spiritualis. Karena Takdir merupakan pokok KeImanan yang dari situlah keyakinan manusia bisa diketahui benar atau salah. Sebab pengaruh KeImanan kepada Takdir akan berimplikasi dalam mengarungi realita kehidupan. lemah atau rancunya keimanan pada Takdir berakibat fatal bagi kehidupan manusia, yakni kehancuran nilai-nilai kemanusiaan yang fitri serta hilangnya tujuan hidup manusia didunia.Sedangkan diakhirat neraka jahanam menanti bagi manusia-manusia yang mengingkarinya.
3.2 Saran :
Seorang muslim wajib beriman dengan taqdir sebagaimana
yang sudah dijelaskan oleh Allah swt dan rasul-Nya di dalam Al-quran dan sunnah
Rasul. Memahami taqdir harus secara benar, karena kesalahan memahami taqdir
akan melahirkan pemahaman dan sikap yang salah pula dalam menempuh kehidupa di
dunia ini.
3.3 Penutupan :
Demikianlah makalah saya, saya menyadari makalah saya ini jauh
dari kesempurnaan, maka dari itu saya harapkan kritik dan saran yang membangun
dari teman-teman sekalian beserta dosen mata kuliah. Sehingga saya bisa
memperbaiki makalah selanjutnya.
Daftar
Pustaka
http://kekuatanspiritualislam.blogspot.com/2010/08/takdir-dalam-prespektif-islam.html
Wikipedia
bahasa Indonesia esiklopedia bebas, http://id.wikipedia.org/wiki/Takdir#
Mahmud
Yunus, Kamus Indonesia Arab (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989).
http://www.alsofwah.or.id/cetakannur.php?id=650
Bazir,Mulyono,2007.LKS Pendidikan Agama Islam.Jawa Tengah:
CV. Media Karya Putra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar